Tuesday, 15 December 2015

Rusia-Turki di Ambang Perang Terbuka

SEPANJANG tahun 2015 ini, Pemerintah Rusia nyatanya tak hanya bersitegang dengan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, negara-negara anggota NATO, sebagaimana yang mereka lakukan di tahun-tahun sebelumnya.

Menjelang akhir tahun ini atau tepatnya pada Selasa 24 November 2015, Pemerintah Rusia memulai perseteruannya dengan Pemerintah Turki. Hal itu terjadi disebabkan oleh sebuah insiden dan kedua negara ini berpotensi terlibat perang terbuka.
Insiden itu adalah, ditembak jatuhnya jet tempur Sukhoi Su-24 Rusia oleh pesawat F-16 milik Angkatan Udara (AU) Turki. Hal itu dilakukan otoritas keamanan Turki karena jet tempur Su-24 Rusia dinilai telah melanggar kedaulatan wilayah udara negaranya.

Menurut Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan yang membela tindakan AU-nya, jet tempur Su-24 Rusia telah melanggar kedaulatan wilayah udara Turki dan mengabaikan 10 kali peringatan yang telah disampaikan AU Turki.

Itulah sebabnya mengapa jet F-16 Turki memutuskan untuk langsung menembak jatuh jet tempur Sukhoi tersebut yang akhirnya menewaskan seorang pilotnya, Kolonel Oleg Peshkov.

Peshkov tewas ditembaki milisi pemberontak Suriah ketika berusaha menyelamatkan diri dengan kursi pelontar. Sementara itu, sang kopilot-nya bernama Konstantin Murakhtin, berhasil selamat.

Kendati Pemerintah Turki telah menyampaikan alasan mereka dalam insiden tembak jatuh Sukhoi, Putin berang dengan tindakan yang dilakukan salah satu negara anggota NATO itu.

Menurutnya, Turki tak punya hak atau alasan apapun untuk menembak jatuh Sukhoi Su-24 ketika itu. Sebab menurut pemimpin Negeri Beruang Merah itu, jet tempur Sukhoi-nya pada saat itu sama sekali tidak melanggar wilayah udara Turki.

Putin menyebutkan bahwa jet Sukhoi-nya ketika itu sedang menjalankan misi serangan udara di wilayah Suriah, untuk memerangi ISIS.
Berdasarkan analisa Kementerian Pertahanan Rusia, jet tempur Su-24 yang saat itu ditembak jatuh AU Turki dilaporkan masih berada di wilayah udara Suriah, bukan di perbatasan Turki. Pada saat jatuh pun, bangkai jet tempur Sukhoi itu pun berada di wilayah Suriah, bukan Turki.

Hal yang senada turut diutarakan Duta Besar (Dubes) Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin. Menurutnya, fakta menunjukkan bahwa jet tempur Su-24 saat itu jatuh di teritorial Suriah.
“Mereka (otoritas Turki) mengatakan bahwa jet tempur kami melanggar batas wilayah udara mereka. Namun, faktanya jet kami jatuh di teritorial Suriah, bukan Turki,” tegas Galuzin.

“Ketika itu jelas-jelas jet tempur kami sedang melakukan misi pemberantasan teroris di wilayah udara Suriah. Sejak awal sampai akhir ditembak jatuh, jet tempur Su-24 kami memang berada di wilayah udara Suriah. Hal itu dibuktikan melalui data-data dari radar maupun satelit yang dimiliki Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan Rusia,” lanjutnya.

Pada akhirnya, insiden itupun menjadi awal mula konflik Rusia-Turki yang hingga kini masih memanas. Berbagai dampak pun bermunculan akibat peristiwa yang terjadi pada 24 November 2015 itu.


Kedua Pihak Saling Tuntut Minta Maaf
Insiden AU Turki tembak jatuh Sukhoi sontak membuat Presiden Putin berang. Ia pun langsung menuntut Presiden Erdogan untuk meminta maaf kepada pihak Rusia.
Namun, Presiden Turki berusia 61 tahun itu justru menuntut balik Rusia dan menyatakan tidak akan meminta maaf atas keputusan AU-nya dalam menembak jatuh jet tempur Sukhoi.
Menurut Perdana Menteri (PM) Turki, Ahmet Davutoglu, negara lain tidak ada yang berhak untuk memaksa Turki memohon maaf kepada Pemerintah Rusia.

Pernyataan tegas dari PM Davutoglu itu diucapkan ketika dirinya menghadiri pertemuan dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stoltenberg, di Kota Brussels, Belgia.
“Saya pikir jelas bahwa tidak ada negara lain yang berhak meminta dan memaksa Pemerintah Turki untuk memohon maaf kepada Rusia atas insiden ditembak jatuhnya Sukhoi Su-24,” tegas PM Davutoglu.
“Kami memahami perasaan Rusia terkait dengan kematian salah seorang pilot mereka. Namun, mereka juga harus memahami sensitivitas kami dalam hal keamanan perbatasan Turki,” sambungnya.

Meningkatnya Aktivitas Militer Rusia-Turki di Perbatasan Suriah
Pasca-terjadinya insiden tembak jatuh Sukhoi Rusia oleh AU Turki, kedua negara yang berseteru dilaporkan telah meningkatkan aktivitas militer dengan penempatan berbagai artileri canggihnya di perbatasan Suriah.
Pihak Rusia dilaporkan langsung menempatkan sistem pertahanan udara mutakhir yang dimilikinya saat ini, yakni rudal udara S-400.

Hal itu dilakukan Rusia untuk menghalau dan mengantisipasi jet-jet tempur Turki yang diprediksi dapat menembak jet tempur Rusia lagi ketika sedang membombardir kelompok ISIS di Suriah.
Sementara itu, Pemerintah Turki memutuskan untuk menggelar operasi udara besar-besaran dengan menempatkan 18 jet F-16 yang berpatroli di perbatasan Suriah. Menurut otoritas Turki, hal itu dilakukan untuk mengantisipasi pergerakan militan ISIS di perbatasan Turki-Suriah.
Namun, menurut pihak Rusia hal itu merupakan dalih AU Turki untuk dapat kembali menembak jatuh jet-jet tempur Rusia yang sedang menjalankan misi membombardir kelompok ISIS.


Rusaknya Hubungan Bilateral Turki-Rusia
Tindakan AU Turki yang menembak jatuh Sukhoi Rusia ternyata membuat hubungan bilateral atau kerjasama kedua negara yang telah terbangun sejak lama menjadi terkikis bak batu yang terus-menerus dihantam air.

Hal itupun diakui Dubes Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin. Menurutnya, banyak kerjasama Rusia-Turki di berbagai bidang mulai rusak.
“Jelas insiden ditembak jatuhnya jet tempur kami berdampak besar pada hubungan maupun kerja sama bilateral kami dengan Pemerintah Turki. Hal itu dibuktikan dari batalnya kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) Sergey Lavrov ke Istanbul, ketika itu,” ungkap Dubes Galuzin.

“Peristiwa itu telah berimbas pada kerja sama di sektor pariwisata kami salah satu contohnya. Pemerintah
Rusia telah merekomendasikan warganya untuk tidak bepergian ke Turki dengan alasan apapun, termasuk untuk tujuan wisata,” sambungnya.
Selain itu, Pemerintah Rusia dilaporkan juga telah memberlakukan sanksi ekonomi dan mengontrol ketat impor pangan dan pertanian dari Turki. Hal itu disampaikan Kementerian Pertanian Rusia.

Dampak insiden tembak jatuh Sukhoi ternyata juga memunculkan kabar tentang 39 pebisnis Turki yang ditangkap oleh otoritas imigrasi Rusia.
Puluhan pengusaha Turki itu ditangkap di wilayah Krasnodar oleh petugas Layanan Migrasi Rusia ketika akan menghadiri konferensi industri agrikultur, karena masuk Rusia dengan menggunakan visa turis, bukan visa bisnis.

Sementara itu yang terbaru, perseteruan Rusia-Turki ternyata juga proyek kerja sama pipa gas kedua negara menjadi terbengkalai. Menurut laporan, proyek kerja sama pipa gas antara Turki-Rusia mencapai 1,8 miliar euro, atau setara Rp27,4 triliun.


Putin Tak Mau Angkat Telefon dari Erdogan
Akibat peristiwa ditembak jatuhnya Sukhoi oleh AU Turki, Presiden Putin dilaporkan enggan untuk menerima panggilan telefon dari Presiden Erdogan.
“Saya sudah menelefon Presiden Putin, namun sampai sekarang dia tidak pernah menjawab telefon saya,” imbuh Presiden Erdogan. (Bersambung).


KTT Perubahan Iklim 2015 di Paris
Setelah insiden ditembak jatuhnya Sukhoi Rusia oleh AU Turki, kedua kepala negara sejatinya dijadwalkan untuk menghadiri sebuah sidang tahunan yang rutin dihadiri banyak pemimpin negara besar dan berkembang di dunia, yaitu KTT Perubahan Iklim.

Menurut Juru Bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, tidak akan ada agenda pertemuan antara Putin-Erdogan di sela-sela penyelenggaraan KTT Perubahan Iklim 2015 di Paris, Prancis.

KTT Perubahan Iklim 2015 di Paris (COP21) sendiri telah dimulai sejak 30 November 2015, dan akan berakhir pada 11 Desember 2015.

Di sela-sela sidang tahunan tersebut, Presiden Putin justru dilaporkan mengadakan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, dan turut membahas insiden ditembak jatuhnya Sukhoi oleh Turki.

Sama halnya dengan Presiden Putin, Presiden Erdogan juga menemui Presiden Obama di sela-sela penyelenggaraan KTT Perubahan Iklim di Paris. Dalam hal ini, Presiden Obama seakan-akan menjadi burung pengantar pesan bagi kedua pemimpin negara yang sedang berseteru itu.

Munculnya Dugaan Aktor Lain di Balik Insiden Sukhoi
Munculnya dugaan adanya aktor lain di balik aksi AU Turki yang tembak jatuh Sukhoi diutarakan oleh Dubes Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin.

Menurutnya, fakta yang menunjukkan bahwa Turki merupakan sekutu AS sekaligus anggota NATO membuat Dubes Galuzin mencurigai adanya peran negara lain di balik aksi atau keputusan Turki yang menembak jatuh jet tempur Rusia.

“Menurut saya, peristiwa ditembak jatuhnya jet tempur Rusia kemarin, bukan hanya tindakan dari otoritas Turki seorang. Turki hanyalah pelaku pertama. Namun, menurut saya di belakang Turki, ada negara lain yang juga ikut terlibat,” ucap Dubes Galuzin.

Rusia Tuduh Turki Bisnis Minyak dengan ISIS
Usai Sukhoi Rusia ditembak jatuh jet tempur F-16 Turki, Pemerintah Rusia dilaporkan menuding Pemerintah Turki di bawah pimpinan Presiden Erdogan telah melakukan bisnis perdagangan minyak ilegal dengan kelompok ISIS di Suriah.

Bahkan, seorang pejabat di Kementerian Pertahanan Rusia menyatakan bahwa Presiden Erdogan dan keluarganya merupakan konsumen utama dari minyak yang dijual kelompok ISIS.

Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim memiliki bukti kuat tentang kebenaran bisnis perdagangan minyak ilegal Turki-ISIS.

Menurut data yang dirilis Kementerian Pertahanan Rusia dari hasil pengamatan satelit, penyelundupan dari Suriah dan Irak dilakukan melalui tiga jalur. Jalur pertama adalah rute sebelah barat yang diduga digunakan ISIS untuk mengangkut minyak curian mereka dari Provinsi Raqqa, terutama ladang minyak Manbij ke kota pelabuhan Turki, Dortyol.

Jalur kedua berawal di ladang minyak di Dar Ez Zor, Suriah, yang berakhir di kilang minyak di dekat Kota Batman, Turki. Jalur ini dilaporkan ditemukan pada pertengahan November. Sedangkan jalur ketiga digunakan untuk menyelundupkan minyak dari Irak ke pusat logistik Turki di Kota Cizre.

Menanggapi tudingan Rusia, Presiden Erdogan mengaku berjanji akan mundur dari jabatannya jika Rusia benar-b

Dugaan Motif Balas Dendam di Balik Aksi Pemerintah Turki
Ditembak jatuhnya Sukhoi Su-24 Rusia oleh jet tempur F-16 Turki menimbulkan spekulasi dari beberapa pihak yang menduga peristiwa itu merupakan aksi balas dendam.

Turki yang dituding mendapatkan keuntungan dari perdagangan minyak mentah dengan kelompok militan ISIS, merasa dirugikan dengan aksi Rusia yang menghancurkan lebih dari 1.000 tanker penyimpanan minyak ISIS di Suriah. Hal itu tersirat dalam pernyataan Perdana Menteri (PM) Rusia Dmitry Medvedev.

Putra Erdogan Juga Dituding Terlibat dengan ISIS
Munculnya tuduhan Rusia yang menyatakan Pemerintah Turki terlibat bisnis perdagangan ilegal dengan ISIS, ternyata turut menyeret nama putra dari Presiden Erdogan. Bilal, yang merupakan putra dari Presiden Erdogan itu dituduh memiliki hubungan bisnis penjualan minyak mentah dengan ISIS melalui jalur perusahaan ekspedisi maritimnya yang bernama BMZ.

Dalam sebuah laporan Russia Today, memperlihatkan sebuah foto yang menampilkan Bilal dengan beberapa orang berjanggut tebal yang mereka sebut sebagai pimpinan ISIS. Foto itu berasal dari akun Twitter @Dilxazsofi dengan keterangan Putra Recep Tayip Erdogan ‘BILAL ERDOGAN’ dengan saudara-saudara ISIS-nya.

Kendati demikian, media Turki, Daily Sabah, justru menuduh media Rusia telah memanipulasi keterlibatan putra Erdogan dengan kelompok militan ISIS.

Menurut Daily Sabah, foto tersebut merupakan foto Bilal dengan pemilik restoran terkenal di Istanbul, Turki, bernama Cigerstan yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan ISIS.enar membuktikan secara sah bisnis minyak Turki dengan ISIS.


Teori Perang Dunia III Dimulai dari Konflik Rusia-Turki Bermunculan
Insiden jet Sukhoi Rusia ditembak jatuh AU Turki yang berujung pada konflik dan pertikaian kedua negara itu sebenarnya bukanlah hal baru.

Turki dan Rusia ternyata memang jarang sekali akur sejak kedua mulai berhubungan ratusan tahun lalu. Tercatat, sejak Turki dikuasai Kekaisaran Ottoman, kedua negara telah berhadapan dalam setidaknya selusin perang.

Kekaisaran Ottoman Turki yang dipisahkan dengan Kekaisaran Rusia oleh Laut Hitam dan Persemakmuran Polandia-Lithuania berambisi memperluas kekuasaannya.

Langkah yang sama juga dilakukan oleh Rusia sehingga menimbulkan Perang Russo-Turkish yang pecah pada 1568 sampai 1570 dan berakhir dengan kemenangan Rusia.

Perang antara dua kekuatan itu kembali pecah pada 1676 yang diakhiri dengan gencatan senjata 20 tahun yang disetujui pada Perjanjian Bakchisarai, 1681.

Namun pada 1686, Rusia bergabung dengan koalisi Eropa yang beranggotakan negara-negara anti-Turki seperti Habsburg, Austria, Polandia, Lithuania, dan Venezia serta mengkhianati perjanjian tersebut menyebabkan pecahnya perang Russo-Turkish yang ketiga.

Setelah perang ketiga berakhir pada 1700, kedua belah pihak kembali terlibat dalam enam perang besar Rusia-Turki lain antara 1710 sampai 1829 yang sebagian besar dimenangkan oleh Kekaisaran Rusia.

Fakta-fakta itulah yang pada akhirnya membuat beberapa pengamat menilai, potensi terciptanya perang dunia ke-3 yang diyakini mengawali kengerian hari kiamat dapat terjadi jika Rusia dan Turki kembali berkonflik terbuka.

Bahkan, sebuah ramalan kuno dari seorang Yahudi bernama Elijah ben Shlomo Zalman, atau biasa disebut Vilna Gaon, mengatakan bahwa hari akhir dapat terjadi jika Turki-Rusia berseteru lagi, di mana titik nolnya dimulai ketika Pemerintah Rusia mulai mencaplok Krimea dari Ukraina pada tahun lalu.
(okezone.com)

No comments:

Post a Comment